Popular Posts

Monday, December 21, 2015

Rasulullah Merindukan Umat Diakhir zaman


      Pada suatu hari, berlaku perbualan di antara Nabi saw. dengan Saidina Abu Bakar Siddiq serta para sahabat lain. “Wahai Abu Bakar, aku begitu rindu hendak bertemu dengan saudara-saudaraku( ikhwanku ),” berkata Nabi saw. “Wahai Rasulullah, bukankah kami ini teman-teman engkau?” jawab Abu Bakar. “Bukan,” jawab Nabi saw. “Kamu adalah sahabat-sahabatku”.

Seulas senyuman yang sedia terukir dibibirnya pun terungkai. Wajahnya yang tenang berubah warna. "Apakah maksudmu berkata demikian wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu? " Saidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mula menyerabut fikiran.

"Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan)," suara Rasulullah bernada rendah.

"Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah," kata seorang sahabat yang lain pula. Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian baginda bersuara:

"Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka."

-----------------------------------------------------------------------

Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang keimanan ‘ikhwan’ baginda: "Siapakah yang paling ajaib imannya?" tanya Rasulullah.

"Malaikat," jawab sahabat.

"Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah, sedangkan mereka sentiasa hampir dengan Allah," jelas Rasulullah. Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka berkata lagi, " Para nabi."

"Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka."

"Mungkin kami," celah seorang sahabat.

"Bagaimana kamu tidak beriman, sedangkan aku berada ditengah-tengahkamu," pintas Rasulullah menyangkal hujah sahabatnya itu.

"Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya sahaja yang lebih mengetahui," jawab seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan mereka.

"Kalau kamu ingin tahu siapa mereka? Mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca Al Quran dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa denganku," jelas Rasulullah.

"Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka," ucap Rasulullah lagi setelah seketika membisu. Ada berbaur kesayuan pada ucapannya itu.

Tuesday, December 15, 2015

Dalil Peringatan Maulid Nabi SAW

     Dalil Lengkap Perayaan Maulid Nabi SAW
Oleh: Al Imam As Sayyid Prof. Dr. Muhammad bin ‘Alawi Al Maliki Al Hasani
Hari Maulid (kelahiran) Nabi S.A.W. adalah lebih besar, lebih agung, dan lebih mulia daripada dua Hari Raya. Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adlha hanya berlangsung sekali dalam setahun, sedangkan peringatan Maulid Nabi S.A.W., mengingat baginda dan sirohnya, mesti berlangsung terus, tidak terkait dengan waktu dan tempat.
Mengapa?
Karena Baginda-lah yang membawa ‘Ied (hari raya) dan berbagai kegembiraan yang ada di dalamnya. Karena Baginda juga, kita memiliki hari-hari lain yang agung dalam Islam. Jika tidak ada kelahiran Baginda, tidak ada bi’tsah (dibangkitkannya beliau sebagai rasul), Nuzul Quran, Isra Mikraj, Hijrah, kemenangan dalam Perang Badar, dan Futuh Mekah, kerana semua itu terhubung langsung dengan Baginda dan kelahirannya, yang merupakan sumber dari kebaikan-kebaikan terbesar.
Banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memperingati Maulid yang mulia dan Beliau SAW menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan peringatan Maulid.
Pertama: Kita memperingati Maulid Nabi bukan hanya pada hari kelahirannya, tapi selalu dan selamanya, di setiap waktu dan setiap kesempatan, ketika kita mendapatkan kegembiraan, lebih-lebih lagi pada bulan kelahiran beliau, yaitu Rabi’ul Awwal, dan pada hari kelahiran baginda, hari Senin.
Tidak layak seorang yang berakal bertanya, “Mengapa kamu memperingatinya?” Seolah-olah dia bertanya, “Mengapa kamu bergembira dengan adanya Nabi S.A.W.?”.
Apakah sah bila pertanyaan ini timbul dari seorang yang Islam, yang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah? Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang bodoh dan tidak memerlukan jawaban. Seandainya saya, misalnya, harus menjawab, cukuplah saya menjawabnya demikian, “Saya memperingatinya karena saya gembira dan bahagia dengan Baginda, saya gembira dengan Baginda, sebab saya mencintainya, dan saya mencintainya sebab saya seorang mukmin”.
Kedua: Yang dimaksudkan dengan peringatan Maulid adalah, berkumpul untuk mendengarkan siroh Baginda dan mendengarkan pujian-pujian tentang diri Baginda, juga memberi makan orang-orang yang hadir, memuliakan orang-orang fakir dan mereka yang memerlukan, serta menggembirakan hati orang-orang yang mencintai Baginda.
Ketiga: Kita tidak mengatakan bahwa peringatan Maulid itu dilakukan pada malam tertentu dan dengan cara tertentu, yang dinyatakan oleh nas-nas syariat secara jelas, seperti sembahyang, puasa, dan ibadah yang lain. Tidak macam itu.
Peringatan Maulid tidak seperti sembahyang, puasa, dan lain-lain. Tetapi juga tidak ada dalil yang melarang peringatan ini, karena berkumpul untuk mengingat Allah dan Rasul-Nya serta hal-hal lain yang baik adalah sesuatu yang harus diberi perhatian, terutama pada bulan Maulid.
Keempat: Berkumpulnya orang untuk memperingati acara ini adalah ajakan terbesar untuk dakwah, dan merupakan kesempatan yang sangat berharga yang tak boleh diabaikan. Bahkan, para da’i dan ulama, wajib mengingatkan manusia tentang Nabinya, baik akhlaknya, hal ihwalnya, sirohnya, muamalahnya, maupun ibadahnya. Di samping itu menasehati mereka menuju kebaikan dan kebahagiaan serta memperingatkan mereka dari bala, bid’aah, keburukan, dan fitnah.

Yang pertama merayakan Maulid Nabi adalah Sohibul Maulid sendiri, yaitu Nabi S.A.W., sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis Sahih, yang diriwayatkan Imam Muslim bahwa, ketika baginda ditanya mengapa berpuasa pada hari Senin, baginda menjawab, “Itu adalah hari kelahiranku.” Ini nas yang paling jelas dan terang yang menunjukkan bahwa memperingati Maulid Nabi adalah sesuatu yang dibolehkan syara’.
Banyak dalil yang boleh kita jadikan dasar, untuk diperbolehkannya memperingati kelahiran Nabi Muhammad S.A.W.
1. Peringatan Maulid Nabi S.A.W. adalah ungkapan kegembiraan dan kesenangan dengan baginda. Bahkan orang kafir pun mendapatkan manfaat dengan kegembiraan itu; Ketika Suwaibah, hamba Abu Lahab, paman Nabi S.A.W., menyampaikan berita kegembiraan itu; Ketika Suwaibah, hamba Abu Lahab, paman Nabi S.A.W., menyampaikan berita gembira tentang kelahiran Cahaya Alam Semesta itu, Abu Lahab pun memerdekakannya. Sebagai tanda suka gembira. Oleh kerana kegembiraan dan merayakan kelahiran baginda itu, di akhirat nanti siksa terhadap dirinya diringankan setiap hari Senin dan keluar air syurga dari celahan jarinya untuk minumannya.
Demikianlah rahmat Allah terhadap siapapun yang bergembira atas kelahiran Nabi, termasuk juga terhadap orang kafir sekalipun. Maka jika kepada seorang yang kafirpun Allah merahmatinya, sebab bergembira atas kelahiran Nabi-Nya, bagaimanakah anugerah Allah bagi umatnya, yang iman selalu ada di hatinya?
2. Baginda sendiri mengagungkan hari kelahirannya dan bersyukur kepada Allah, pada hari itu atas nikmatNya yang terbesar kepadanya.
3. Gembira terhadap Rasulullah S.A.W. adalah perintah AI-Quran. Allah S.W.T. berfirman,
“Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira’.” Surah Yunus: 58.
Jadi, Allah sendiri meminta kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya, sedangkan Nabi S.A.W. merupakan rahmat yang terbesar, sebagaimana tersebut dalam Al-Quran,
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam.” Al-Anbiya’: 107.
4. Nabi S.A.W. mengambil berat kaitan antara masa dan kejadian dalam Islam yang besar yang telah lalu. Apabila datang masanya hari peristiwa itu terjadi, itu merupakan kesempatan untuk mengingatnya dan mengagungkan harinya.
5. Memperingati Maulid Nabi S.A.W. mendorong kita untuk bershalawat, dan shalawat itu diperintahkan oleh Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuknya dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya.” Al-Ahzab: 56.
Apa-apa yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu yang dituntut oleh syara’, berarti itu juga dituntut oleh syara’. Berapa banyak manfaat dan anugerah yang diperoleh dengan membacakan salam kepadanya.
6. Dalam Maulid, disebut tentang kelahiran beliau, mukjizat-mukjizatnya, sirahnya, dan pengenalan tentang pribadinya. Bukankah kita diperintahkan untuk mengenalnya serta dituntut untuk menirunya, mengikuti perbuatannya, dan mengimani mukjizatnya?! Kitab-kitab Maulid menyampaikan semuanya dengan lengkap.
7. Maulid Nabi juga merupakan ungkapan membalas jasa baginda dengan menunaikan sebagian kewajiban kita kepadanya dengan menjelaskan sifat-sifatnya yang sempurna dan akhlaknya yang utama.
Dulu, di zaman Nabi S.A.W., para penyair datang kepada baginda menyampaikan qasidah-qasidah yang memujinya. Nabi ridla dan senang dengan apa yang mereka lakukan, dan memberikan balasan kepada mereka dengan kebaikan-kebaikan.
Jika baginda pun ridla dengan orang yang memujinya, bagaimana baginda tidak ridla dengan orang yang mengumpulkan keterangan tentang akhlaknya yang mulia. Hal itu juga mendekatkan diri kita kepadanya, yaitu dengan menarik kecintaannya dan keridlaannya.
8. Mengenal sikap dan pribadi baginda S.A.W., mukjizat-mukjizatnya, dan irhash-nya (kejadian-kejadian luar biasa yang Allah berikan pada diri seorang rasul sebelum diangkat menjadi rasul), menambahkan iman yang sempurna kepadanya dan menambah kecintaan terhadapnya.
Manusia itu diciptakan menyukai hal-hal yang indah, penampakan fisiknya maupun akhlaknya, ilmu maupun amal, keadaan maupun keyakinan. Dalam hal ini tidak ada yang lebih indah, lebih sempurna, dan lebih utama dibandingkan akhlak dan sikap Nabi S.A.W. Menambah kecintaan dan menyempurnakan iman adalah dua hal yang dituntut oleh syara’. Maka, apa saja yang bisa menambahkannya juga merupakan tuntutan agama.
9. Mengagungkan Nabi S.A.W. itu disyariatkan, bahagia dengan hari kelahirannya dengan menampakkan kegembiraan, membuat jamuan, berkumpul untuk mengingatnya, serta memuliakan orang-orang fakir, adalah bukti mengagungkannya, kegembiraan, dan rasa syukur yang paling nyata.
10. Dalam ucapan Nabi S.A.W. tentang keutamaan hari Jumaat, disebutkan bahwa salah satu di antaranya adalah, “Pada hari itu Adam diciptakan”.
Ini menunjukkan dimuliakannya waktu masa seorang nabi dilahirkan. Maka bagaimana dengan hari dilahirkannya nabi yang paling utama dan rasul yang paling mulia?
11. Maulid juga adalah perkara yang dipandang baik oleh para ulama dan kaum muslimin di semua negeri dan telah dilakukan di semua tempat. Sebab itu, ia dituntut oleh syara’, berdasarkan kaedah yang diambil dari hadis yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud,
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, ia pun baik di sisi Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, ia pun buruk di sisi Allah.”
12. Dalam menyambut Maulid Nabi, di dalamnya berkumpulnya umat, zikir, sedekah, dan pengagungan kepada Nabi S.A.W. Semua itu hal-hal yang dituntut oleh syara’ dan terpuji.
13. Allah S.W.T. berfirman, “Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad), yang dengannya Kami teguhkan hatimu:’ Surah Hud: 120.
Dari ayat ini nyatalah bahawa hikmah dikisahkan tentang para rasul adalah untuk meneguhkan hati Nabi. Tidak dinafikan lagi di saat ini kita pun perlu untuk menguatkan hati kita dengan berita-berita tentang baginda, lebih dari keperluan baginda akan kisah para nabi sebelumnya.
14. Bukan berarti yang tidak pernah dilakukan Salafussoleh dulu dan tidak ada di awal Islam memberi arti bid’aah yang munkar dan buruk. Melainkan apa yang ‘baru’ itu (yang belum pernah dilakukan) mesti dinilai berdasarkan dalil-dalil syara’.
15. Tidak semua bid’aah itu diharamkan. Jika haram, niscaya haramlah pengumpulan Al-Quran, yang dilakukan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Zaid, Sayyidina Usman, dan penulisannya di mushaf-mushaf karena khawatir hilang dengan wafatnya para sahabat yang hafal Al-Quran.
Apakah haram ketika Sayyidina Umar mengumpulkan orang untuk mengikuti seorang imam ketika melakukan Shalat Tarawih, sedangkan beliau mengatakan, “Sebaik-baik bid’aah adalah ini.”?
Banyak lagi perbuatan baik yang sangat diperlukan umat Islam namun dikatakan bid’aah yang haram apabila semua bid’aah itu diharamkan.
16. Maulid Nabi S.A.W., meskipun tiada di zaman Rasulullah S.A.W., sehingga menjadi bid’ah; adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik). Ia termasuk di dalam dalil-dalil syara’ dan kaedah-kaedah kulliyyah (yang bersifat global).
Jadi, Maulid Nabi itu bid’ah jika kita hanya memandang bentuknya, bukan peranan-peranan amalan yang terdapat di dalamnya (sebagaimana terdapat dalam dalil kedua belas), karena amalan-amalan itu juga ada di zaman Nabi.
17. Semua yang tidak ada pada awal Islam dalam bentuknya, tetapi perincian-perincian amalnya ada, juga dituntut oleh syara’. Sebab, apa yang tersusun dari hal-hal yang berasal dari syara’, pun dituntut oleh syara’.
18. Imam Syafi’i mengatakan, “Apa-apa yang baru (yang belum ada atau dilakukan di masa Nabi S.A.W.) dan bertentangan dengan Kitabullah, sunnah, ijmak, atau sumber lain yang dijadikan pegangan, adalah bid’ah yang sesat. Adapun suatu kebaikan yang baru dan tidak bertentangan dengan yang tersebut itu, adalah terpuji “
19. Setiap kebaikan yang terangkum dalam dalil-dalil syar’i, hal itu tidak dimaksudkan untuk menyalahi syariat dan tidak pula mengandung suatu kemungkaran, itu termasuk ajaran agama.
20. Maulid Nabi S.A.W. bererti menghidupkan ingatan (kenangan) tentang Rasulullah, dan itu menurut kita disyariatkan dalam Islam. Sebagaimana yang kita lihat, sebagian besar amalan haji pun menghidupkan ingatan tentang peristiwa-peristiwa terpuji yang telah lalu.
21. Semua yang disebutkan di atas, tentang dibolehkannya secara syariat peringatan Maulid Nabi S.A.W., hanyalah pada amalan-amalan atau perbuatan yang tidak disertai perbuatan-perbuatan mungkar yang tercela, yang wajib ditentang, (seperti tontonan pengumbar aurot, judi, mabuk, dll).
Sumber:
1. Kitab Dzikroyat Wa Munasabat
2. Kitab Haul Al Ihtifal Bi Dzikro Maulid An Nabawi Asy Syarif
3. Majelis Al Haramain

Sunday, December 6, 2015

Islam bukan Teroris

Habibana Munzir bin Fuad Almusawa Alaihi Rahmatullah:

-- Terorisme dan Radikalisme Bukan Ajaran Islam --

Saudaraku yang kumuliakan, mereka (para teroris/ekstrimis) ini saudara-saudara Muslimin kita yang dangkal dalam pemahaman Syariah, cuma menggunting ayat lalu memaksakan pemahaman mereka dengan kemauan mereka. Ayat-ayat tersebut adalah kekerasan orang mukmin kepada kuffar adalah kepada kafir harby yang memerangi Muslimin, sedangkan kafir yang tidak memerangi Muslimin maka Rasul Saw. berlemah-lembut pada mereka, hal itu jelas pada belasan bahkan puluhan ayat dan riwayat shahih.

Islam adalah kesatria, bukan pengecut, jika musuh memerangi dengan senjata maka perangi dengan senjata, jika dengan siasat maka perangi dengan siasat, jika dengan harta maka perangi dengan harta. 

Lalu bagaimana dengan pemuda Yahudi yang berkhidmat di rumah Rasulullah Saw. dan Rasul Saw. menerimanya berkhidmat. Bagaimana seorang kafir Yahudi itu masuk ke rumah Rasul Saw. bahkan diterima sebagai khadim beliau Saw. Rasul Saw. tidak menghardik dan mengusirnya atau memaksanya masuk Islam. Adakah orang yang lebih benci pada kekufuran melebihi Muhammad Saw.? Namun beliau menerimanya bahkan tinggal di rumah beliau Saw. Sampai kemudian pemuda itu sakit, Rasul Saw. menjenguknya dan ia di sakaratulmaut, dan ia masuk Islam. Demikian dalam Shahih al-Bukhari.

Juga kemarahan Rasul Saw. terhadap Muslim yang menampar Yahudi yang mengatakan Nabi Musa lebih mulia dari Nabi Muhammad Saw. Maka Rasul Saw. menegur keras Muslim tersebut. (Shahih al-Bukhari).

Lalu bagaimana dengan Abu Lahab yang menggali lobang untuk perangkap Nabi Saw. dan ia sendiri yang terjatuh ke dalamnya? Tangan mulia Rasul Saw. yang menolongnya keluar dari perangkapnya sendiri. Kenapa Rasul Saw. menolong gembong kafir jahat yang sudah dilaknat oleh Allah Swt. dalam al-Quran ini?

Lalu bagaimana dengan doa Rasul Saw. pada penduduk Thaif yang melemparinya dan menganiayanya: “WAHAI Allah beri hidayah pada kaumku, sungguh mereka tidak mengerti.” Bagaimana Rasul Saw. mengatakan kepada kafir jahat itu “kaumku”?

Lalu bagaimana dengan kejadian perang Uhud saat panah besi menembus rahang beliau Saw. Dan Ibunda Agung Fathimah Ra. binti Rasul Saw. dan Sayyidina Ali Kw. membersihkan luka dan darah di wajah beliau Saw, dan Rasul Saw. malah sibuk menjaga agar darah tidak jatuh ke tanah dari wajah beliau Saw. Maka para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan dulu darah itu, kita benahi lukamu terlebih dahulu.” Rasul Saw. bersabda: “Demi Allah, jika ada setetes darah dari wajahku menyentuh bumi maka Allah akan menumpahkan adzab pada mereka.” (Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari).

Demikian Nabi Saw. menjaga musuh-musuhnya agar tidak terkena adzab dari Allah.

Lalu bagaimana dengan Nabi Saw. yang mendoakan orang Yahudi dengan doa beliau: “Yahdikumullah wayushlih Balukum” (semoga Allah memberi kalian petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian).

Lalu bagaimana dengan perbuatan Nabi Saw. pada sahabatnya yang mencaci seorang munafik, lalu Rasul Saw. bertanya: “Kenapa kalian mencacinya munafik?” Para sahabat berkata: “Sungguh perbuatannya dan ucapannya adalah sebagaimana perbuatan kaum munafik.” Maka Rasul Saw. bersabda: “Jangan kalian mencacinya, sungguh Allah telah mengharamkan api neraka bagi mereka yang mengucap La Ilaha Illallah karena ingin mendapat ridha Allah.” (Shahih al-Bukhari).

Lalu bagaimana dengan seorang pemabuk yang dihukum lalu ia mabuk lagi, dihukum lagi, lalu mabuk lagi, maka Umar Ra. melaknatnya dan Rasul Saw. menghardik Umar Ra. dan bersabda: “Jangan kau caci ia, sungguh ia mencintai Allah dan RasulNya.” (Shahih al-Bukhari).

Lalu bagaimana dengan Abdullah bin Ubay bin Salul, gembong munafik di Madinah yang berhati kufur, berkedeok Islam, ia selalu mengabarkan rahasia Muslimin pada kuffar Quraisy. Jika Rasul Saw. berangkat berjihad maka ia berusaha menghalangi dengan kata-kata fitnah: ini musim panas, ini musim dagang, pasukan kuffar terlalu kuat, dlsb. Namun diam-diam ia kabarkan bahwa pasukan Muslimin berjumlah sekian, dan seluruh rahasia kepada kuffar Quraisy. Jika Rasul Saw. pulang selamat maka ia menyambut Nabi Saw. dengan sambutan hangat, menangis gembira, dan mohon ampunan karena tak ikut peperangan, namun ia tetap dalam kemunafikannya. Saat ia sakaratulmaut dan wafat maka Rasul Saw. datang menyolatinya, menguburkannya, dan anaknya yang juga bernama Abdullah adalah orang yang beriman, dan meminta baju Rasul Saw. untuk dikafankan pada ayahnya yang munafik itu. Rasul Saw. memberikannya, lalu turun ayat bahwa Allah tak akan mengampuni Abdullah bin Ubay bin Salul. Rasul Saw. berkata pada Umar Ra.: “Allah melarangku memohonkan pengampunan untuknya walau 70 kali kuistighfari pun dia tak akan diampuni Allah. Namun jika seandainya Allah akan mengampuninya jika kuistighfari lebih dari 70 kali, maka akan kuistighfari ia lebih dari 70 kali agar ia diampuni Allah. Namun aku mengetahui memang Allah tak mau memaafkannya.” (Shahih Bukhari)

Apakah Rasul Saw. salah? Siapa panutan para teroris ini?

Kita kenal Umar bin Khattab Ra., namun ia bukan pengecut yang suka sembunyi. Demikian pula Hamzah Ra. yang sengaja memakai tanda di dadanya berbeda dengan orang lain agar para kuffar tahu dan cepat mengenal bahwa ia adalah Hamzah, bukan sembunyi lalu menyerang dari belakang sebagaimana teroris ini.

Kalau teror ini ajaran Rasul Saw., maka saat Rasul Saw. masih sedikit di Makkah dan lemah, mestilah teror dilakukan untuk memerangi kuffar Quraisy. Namun Rasul Saw. malah memilih hijrah meninggalkan kampung halamannya. Apakah Rasul Saw. pengecut?

Bahkan salah seorang istri Rasul Saw. adalah Yahudi, dan istri Rasul Saw. pula seorang Nasrani yang keduanya telah masuk Islam. 

Bagaimana orang-orang non-Muslim itu akan masuk Islam? Bukankah dengan mengajarkan kedamaian Islam? Jika Muslimin meneror dan berbuat bengis terhadap kuffar, maka mustahil ada orang masuk Islam, bahkan orang Islam akan banyak yang murtad.

Demikian saudaraku yang kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dengan segala cita-cita. Wallahu a’lam.

Wallahu a'lam

Allahumma sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa'ala alihi washobihi wasalim

Friday, December 4, 2015

Kewalian Kyai Hamid Pasuruan

  Terkuaknya Kewalian Kyai Hamid Pasuruan Dan Kisah Salamnya Kyai Hamid kepada ‘Wali Gila’ 
di Pasar Kendal

  Suatu ketika seorang Habib dari Kota Malang, ketika masih muda, yaitu Habib Baqir Mauladdawilah (sekarang beliau masih hidup), diijazahi sebuah doa oleh al-Ustadzul Imam Al-Habr al-Quthb al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Bilfaqih, Habib Abdulqadir Bilfaqih berpesan kepada Habib Baqir untuk membaca doa tersebut ketika akan menemui seseorang agar tahu sejatinya orang tersebut siapa, orang atau bukan.

Suatu kesempatan datanglah Habib Baqir menemui seorang waliyullah di daerah Pasuruan, Jawa Timur, yang masyhur dengan nama Mbah Hamid Pasuruan.

Ketika itu di tempat Mbah Hamid banyak sekali orang yang sowan kepada beliau, meminta doa atau keperluan yang lain.

Setelah membaca doa yang di ijazahkan, Habib Baqir merasa kaget. Ternyata orang yang terlihat seperti Mbah Hamid sejatinya bukan Mbah Hamid.

Beliau mengatakan: “Ini bukan Mbah Hamid, ini adalah khodamnya. Mbah Hamid tidak ada di sini” Kemudian Habib Baqir mencari di manakah sebetulnya Mbah Hamid.

Setelah bertemu dengan Mbah Hamid yang asli, Habib Baqir bertanya kepada beliau: “Kyai, Kyai jangan begitu.”

Mbah Hamid menjawab: “Ada apa Bib?”

Habib Baqir kembali berkata: “Kasihan orang-orang yang meminta doa, itu doa bukan dari panjenengan, yang mendoakan itu khodam. Panjenengan di mana waktu itu?”

Mbah Hamid tidak menjawab, hanya diam. Namun Mbah Hamid pernah menceritakan masalah ini kepada Seorang Habib sepuh. Habib sepuh tersebut juga pernah bertanya kepada beliau,
Saat itu Habib sepuh tersebut bertanya: “Kyai Hamid, waktu banyak orang-orang meminta doa kepada njenengan, yang memberikan doa bukan njenengan, njenengan di mana. Kok tidak ada..?”

Jawab Mbah Hamid: “Hehehee.. ke sana sebentar”

Habib sepuh tersebut semakin penasaran: “Ke sana ke mana Kyai?”

Jawab Mbah Hamid: “Kalau njenengan pengen tahu, datanglah ke sini lagi.”

Singkat cerita, Habib sepuh tersebut kembali menemui Mbah Hamid, ingin tahu di mana tempat persembunyian beliau. Setelah bertemu, bertanyalah Habib sepuh tadi: “Di mana Kyai?”

Mbah Hamid tidak menjawab, hanya langsung memegang Habib sepuh tadi. Seketika itu, kagetlah Habib sepuh tadi, melihat suasana di sekitar mereka berubah menjadi bangunan Masjid yang sangat megah.

“Di mana ini Kyai?” Tanya Habib sepuh tadi.

“Monggo njenengan pirsani piyambek niki teng pundi” (Silakan habib lihat sendiri ini di mana) jawab Mbah Hamid.

Subhanalloh, ternyata Habib sepuh tadi dibawa oleh Mbah Hamid mendatangi Masjidil Haram.

Habib sepuh kembali bertanya kepada Kyai Hamid: “Kenapa njenengan memakai doa?”

Mbah Hamid kemudian menceritakan: “Saya sudah terlanjur terkenal, saya tidak ingin terkenal, tidak ingin muncul, hanya ingin asyik sendirian dengan Allah, saya sudah berusaha bersembunyi, bersembunyi di mana saja, tapi orang-orang selalu ramai datang kepadaku. Kemudian saya ikhtiar menggunakan doa ini, itu yang saya taruh di sana bukanlah khodam dari jin, melainkan Malakul Ardhi, Malaikat yang ada di bumi. Berkat doa ini, Allah Ta’ala menyerupakan malaikatNya dengan rupaku.”

Habib sepuh yang menyaksikan secara langsung peristiwa tersebut, sampai meninggalnya merahasiakan apa yang pernah dialaminya bersama Mbah Hamid, hanya sedikit yang diceritakan kepada keluarganya.

Lain waktu, ada tamu dari Kendal sowan kepada Mbah Hamid. Lantas Mbah Hamid menitipkan salam untuk si fulan bin fulan yang kesehariannya berada di Pasar Kendal, menitipkan salam untuk seorang yang dianggap gila oleh masyarakat Kendal. Fulan bin fulan kesehariannya berada di sekitar pasar dengan pakaian dan tingkah laku persis seperti orang gila, namun tidak pernah mengganggu orang-orang di sekitarnya.

Tamu tersebut bingung kenapa Mbah Hamid sampai menitip salam untuk orang yang dianggap gila oleh dirinya.
Tamu tersebut bertanya: “Bukankah orang tersebut adalah orang gila Kyai.?”

Kemudian Mbah Hamid menjawab: “Beliau adalah wali besar yang menjaga Kendal, rahmat Allah turun, bencana ditangkis, itu berkat beliau, sampaikan salamku.”

Kemudian setelah si tamu pulang ke Kendal, menunggu keadaan pasar sepi, dihampirilah “orang yang dianggap gila tersebut” yang ternyata Shohibul Wilayah Kendal.

“Assalamu’alaikum…” Sapa si tamu.

Wali tersebut memandang dengan tampang menakutkan layaknya orang gila sungguhan, kemudian keluarlah seuntai kata dari bibirnya dengan nada sangar: “Wa’alaikumussalam.. ada apa..!!!”

Dengan badan agak gemetar, si tamu memberanikan diri. Berkatalah ia: “Panjenengan dapat salam dari Kyai Hamid Pasuruan, Assalamu’alaikum…”

Tak beberapa lama, wali tersebut berkata: “Wa’alaikumussalam” dan berteriak dengan nada keras: “Kurang ajar si Hamid, aku berusaha bersembunyi dari manusia, agar tidak diketahui manusia, kok malah dibocor-bocorkan. Ya Allah, aku tidak sanggup, kini telah ada yang tahu siapa aku, aku mau pulang saja, gak sanggup aku hidup di dunia.”

Kemudian wali tersebut membaca 
sebuah doa, dan bibirnya mengucap: 
(“Laa Ilaaha Illallah Muhammadun Rasulullah…”)

Seketika itu langsung meninggallah sang Wali di hadapan orang yang diutus Mbah Hamid.

Subhanallah… begitulah para Walinya Allah, saking inginnya berasyik-asyikkan hanya dengan Allah sampai berusaha bersembunyi dari keduniawian, tak ingin ibadahnya diganggu oleh orang-orang ahli dunia, Bersembunyinya mereka memakai cara mereka masing-masing. Oleh karena itu janganlah kita su’udzon terhadap orang-orang di sekitar kita, jangan-jangan dia adalah seorang Wali yang “bersembunyi”.

Jadi ingat nasihat Maha Guru Al-Quthb Al-Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih: “Jadikanlah dirimu mendapat tempat di hati seorang Auliya.”

Semoga nama kita tertanam di hati para kekasih Allah, sehingga kita selalu mendapat nadzrah dari guru-guru kita, dibimbing ruh kita sampai terakhir kita menghirup udara dunia ini, Aamiin...